ANOTHER DAY

Tuesday, February 18, 2020

The Smile Mask #EPS 1

Hasil gambar untuk aesthetic blue pastel
Namaku Rafael Kay Ryeon (baca: Ryun). Orang tuaku cerai ketika aku masih 3 SD. Ayah mengatakan semua akan baik baik saja, hingga... kakak, ibu tiriku mencari masalah denganku, dan mereka menjual tampang pada Ayah. Baik didepan nusuk dibelakang. Aku dan Black akan membongkar tujuan mereka sebenarnya!

"Hey, bangun dasar pemalas!" Seru Lisa. 
Aku duduk diranjang tidurku. Lisa mengeluh dan membentakku lagi. "Bangun koala!" Aku keluar dari kamar, menuju dapur dan segera membuat sarapan.
"Donna, ayah kemana?" Tanyaku.
"Heh, ayahmu kenapa tanya aku? Emang aku mbahmu?" Ucap Donna. 
Aku cemberut dan hanya bisa mengeluh didalam hati. Ups, lupa memperkenalkan diri. Namaku Rafael Kay Ryeon, orang tuaku cerai ketika aku masih kelas 3 SD. Tentu saja aku tak setuju, tapi, apalah dayaku? Aku hanya seorang anak kecil. Yang menyebalkannya adalah...., Aku punya 3 kakak tiri, perempuan yang menyebalkan. Oh, dan juga 1 adik kecil, perempuan juga. 
"Hey, Raf. Dimana jaketku?" Tanya Shofia jengkel. 
"Ya mana ku tahu! Aku tak mungkin menggunakan jaket cewek!" Keluhku. Shofia melotot. Aku tak peduli dan hanya menatapnya dengan wajah datar.
"Dimana kau menaruh jaketku?" Tanyanya lagi  "Kemarin ku suruh kau untuk membereskan kamarku, kakek tua" Ejek Shofia.
Aku terdiam, Nenek tua ini susah diberi tahu, sudah ku bilang ku tidak melihatnya .Keluhku dalam hati. Shofia menamparku karna tak menjawab. Lisa dan Donna menghampiri, dan ikut menyerangku. Aku hanya terdiam, tidak menyesal, tidak teriak, tidak berkata apa apa, hanya memasang wajah datar. Donna dan saudara-saudaranya pergi meninggalkan ku.
"Kenapa kamu tidak menghindar?" Tanya seorang anak kecil yang berumur 5 tahun. Aku terdiam.
"Aku... hanya malas meladeninya" Jawabku, bangun dan masuk kedalam kamar.
Ya... Begini lah hidupku. Kakak tiri yang selalu menjual muka, gampang pindah hati, baik didepan, nusuk dibelakang. Hampir tiap hari aku dihajar karna banyak barangnya yang hilang. Sebenarnya, aku ingin berkata: "Salah kalian sendiri, kalian selalu menaruhnya sembarangan!" Tapi, bisa-bisa aku diusir dari rumah.
"Rafael, Ayah pulang!" Seru ayah.
Aku tetap diam dikamar, sambil berpikir bagaimana caranya ayah percaya bahwa aku sering dihajar oleh 3 monster itu. Ayah masuk kedalam kamarku.
"Rafael, kau tidak dengar? Ayah pulang!" Ucap ayah gembira, dia hendak memelukku. Kemudian berhenti ketika melihat banyak darah keluar dari hidung, dan mulut.
"Kau kenapa?" Tanya ayah khawatir. Aku tetap terdiam, ayah mengambilkan serbet basah untukku.
"Kau mengejar preman lagi? Kau melakukan hal yang sama saat mencoba untuk melindungi ibumu ya?" Tanya ayah. 
"Ayah, bagaimana kalau, hidup yang ayah rasakan sekarang ini, sebenarnya tidak seperti itu?" Tanyaku.
Ayah terdiam. Dia menatapku bingung.
"Ada apa?" 
"Tak apa, aku hanya bertanya"
"Apa kakak-kakakmu tahu bahwa kamu terluka?" 
"Sepertinya begitu" 
Ayah keluar dari kamar, mencari Donna dan saudara-saudaranya. Panjang umur, mereka keluar dari kamar.
"Oh, ayah sudah pulang!" Seru mereka gembira. Mereka mendekat pada ayah, lalu menoleh kearahku. Mereka memasang wajah terkejut (KW) 
"Rafael, kamu kenapa?" Tanya Lisa.
Aku terdiam, dan berpaling kearah lain.
"Rafael, kamu terluka? Parah sekali! Siapa yang tega melakukan ini padamu?" Tanya Shofia pura-pura khawatir. Aku mendengus kesal, dan ingin berkata Itu ulah kau sendiri b*go!. 
"Rafael yang malang, akan ku ambilkan kotak obat" Ucap Donna, Lisa dan Shofia duduk disebelah ayah. Ayah berbisik padaku: "Kakak kakakmu itu baik hati sekali" Aku hanya bisa mengeluh didalam hati. 
"Ayah, apa besok ayah pergi lagi?" Tanyaku.
"Entah lah... Memangnya kenapa?" Jawab ayah sekaligus bertanya balik. 
Aku berpikir sejenak.
"Bolehkah aku masuk kesekolah lagi?" izinku.
"Boleh, hanya saja... Bagaimana kakak-kakakmu? Kau satu-satunya laki laki disini, kau harus melindungi mereka, tinggal disini" Jelas ayah lembut.
"Tinggal disini? Ayah meninggalkanku sendirian dirumah ini. Seandainya ayah tahu bagaimana hidup dan kesengsaraanku selama ini, setelah ayah bercerai dengan ibu! Hidupku selalu menyedi-" belum genap aku berbicara, Shofia menutup muluku.
"Mulutmu banyak darah, jangan banyak bicara" Ucapnya.
"Raf, apa yang kau bicarakan? Hidup? Sengsara?" Tanya ayah bingung.
"John, jangan ganggu Rafael dulu, dia sedang sakit" Ucap Diana. Dia ibu tiriku.
Ayah keluar bersama yang lainnya. Aku menutup pintu kamar rapat-rapat. Dan segera masuk keruang bawah tanah yang terletak dibawah ranjang tidurku.
"Aku harus melakukan sesuatu, sebelum semuanya terlambat!" Ucapku, menyalakan senter. Aku masuk kedalam lorong-lorong tua dan mengambil buku-buku.
"Apanya yang terlambat?" Tanya Black. Aku terkejut dan menoleh kebelakang. "Omaygat, apa kakak-kakamu yang melakukan itu?" Tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk.
"Yang terlambat adalah, kalau aku terus-terusan diperlakukan seperti kotoran, hidupku dalam bahaya" Ucapku buru-buru.
"Kata bahaya itu gak terlalu berlebihan?" Tanya Black lagi.
"Serius! Kalau terus-terusan seperti ini, aku bisa gila dan mulai melukai diri seperti orang lain!" Jelasku. Black terdiam.
"Apa yang mau kau lakukan?" 
"Apapun itu, yang pasti, ayahku harus tahu sifat asli keluarga tiriku!" Ucapku serius. 
Black mondar-mandir sambil membaca buku komik.
"Kay! Aku tahu!" Seru Black. 
Aku menatapnya heran.
"Gini Kay... Pertama-tama kamu coba cara ini dulu: Kamu diam-diam menyalakan rekaman suara dari HandPhone. Matikan saat kamu sendiri! 
Kedua: Aku bisa ambil alat canggih diduniaku yang bernama Secret Camera, atau Spy Camera. Nyalakan setiap saat. Dia seperti CCTV, gak usa dicolok kemana-mana kok!" Jelas Black panjang lebar. Aku tersenyum.
"Ide bagus! Ku coba yang pertama ya!" Ucapku lari kearah tangga.
Aku mencari HandPhoneku.
"Ah! Ketemu! Udah lama gak ku nyalakan, hampir satu bulan" Aku mengambil Charger didalam lemari bajuku.
"Rafael! Mari makan" Ajak Ayah sambil mengetok pintuku.
"Ya, akan ku susul" ucapku menggunakan nada datar.
Aku turun keruang bawah tanah lagi. "Thanks Black!" Ucapku pelan pelan. Black mengecupkan jempolnya. Aku pergi menuju ruang makan.
"Makan apa?" Tanyaku.
"Seblak Makaroni. Ditambah ceker jika kau mau" Tawar tante Diana, sambil mengambilkan makanannya untukku. "Biarku ambilkan"
"Gak usah tante, aku bisa sendiri" Ucapku sambil turun dari kursi, dan mengambil makaroni didalam panci.
"Raf, kamu masih belum terbiasa panggil Diana dengan Ibu ya? Kau masih mengatakan tante" Ayah tertawa, disusuli yang lainnya.
"Ya, begitu lah" 
"Bagaimana lukamu?" Tanya Donna.
"Memburuk Donna, ku jamin aku tak akan sembuh sampai kapanpun" Ucapku. Donna dan yang lain tahu apa maksudku. Aku mengatakan itu karna aku tahu, besok aku pasti akan dihajar lagi.
"Rafael... Donna lebih tua darimu, panggil dia dengan sebutan kakak" Ucap tante Diana lembut. Aku terdiam, ayah menatapku, seakan berkata "Katakan"
"Kak.... uhuk kek" Aku mengatakan Uhuk kek dengan suara kecil. Semua orang tepuk tangan karna aku berani mengatakan Kakak.
"Sekarang, coba panggil Ibu dengan sebutan Ibu" Tante Diana memegang bahuku.
"Aku kenyang, cabut ya" Ucapku kabur. Semua melihatku yangberjalan menuju kamar. Aku menutup pintu rapat-rapat.
"Diana, maafkan dia, dia masih belum berani memangil ibu" Ucap ayah samar-samar.
"Tak mengapa John, aku yakin suatu saat dia berani memanggilku ibu" Jawab tante Diana. Aku menunduk, dan teringat masa lalu, ketika aku dan kedua orangtua kandungku masih bersama. Aku kangen masa-masa itu. Aku benci dengan keluargaku yang sekarang, mereka hanya jual muka pada ayah. Dan akan ku bongkar rahasia mereka pada Ayah!

TO BE CONTINUED...

No comments:

Post a Comment